Jumat, 30 Desember 2011

Hasan A Makarim: Mengubah Kesan Angker Nusakambangan dengan Dakwah

Waktu menunjukkan pukul 8 pagi. Pria setengah baya itu sudah nampak rapi, mengenakan setelan safari berwarna biru dongker dan peci hitam. Mobil kijang yang sejak tadi sudah dinyalakan siap membawa lelaki murah senyum itu menuju Dermaga Wijayapura, tempat penyeberangan menuju Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.


Untuk bisa menyeberang ke pulau itu ada dua cara, bisa dengan kapal Ferry milik Kementerian Kehakiman atau compreng (sejenis kapal kecil milik masyarakat).

Tidak sedikit orang yang ingin menyeberang ke pulau tersebut. Menurut pria yang bernama lengkap Hasan A. Makarim, selain petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang juga akan menyeberang adalah para keluarga yang ingin menjenguk anggota keluarganya di dalam Lapas. Hari itu (14/12/2010), yang juga hadir di dermaga adalah istri-istri para terpidana teroris, bersama anak-anak mereka.

Ustadz Hasan, demikian ia biasa disapa, sangat familiar dengan beberapa keluarga terpidana. Termasuk dengan istri-istri dan anak-anak terpidana teroris. Bahkan, dengan petugas yang menjaga di perbatasan itu, Ustadz Hassan sudah terlihat tidak canggung bertegur sapa. Maklum saja, pria kelahiran Bogor, 51 tahun silam ini, sejak tahun 1991 sudah bolak-balik dakwah di Lapas Nusakambangan. Di Nusakambangan terdapat 6 Lapas, yaitu Lapas Batu, Lapas Terbuka, Lapas Besi, Lapas Kembang Kuning, Lapas Narkoba, dan Lapas Permisan.

“Dari Senin sampai Kamis sudah menjadi jadwal tetap saya untuk berdakwah ke Nusakambangan,” ujar Ustadz Hasan saat menuju Ferry yang akan menyeberang menuju Nusakambangan.

Perjalanan kapal besi itu hanya selama 10 menit. Ustadz Hasan, demikian juga para keluarga terpidana telah ditunggu oleh petugas penjemputan. Siang itu, Ustadz Hasan dijemput menggunakan mobil truk. “Dulu, waktu jalan masih rusak, saya biasanya dijemput dengan motor trail,” akunya. Baginya, soal penjemputan dengan mobil truk atau motor itu bukan masalah, yang penting bisa sampai ke Lapas dan bertemu dengan para warga binaan (istilah lain narapidana).

Benar saja, di Lapas Besi, jadwal kunjungan Ustadz hari itu, telah ditunggu oleh beberapa orang warga binaan yang ingin mengikuti konseling dengan Ustadz Hasan. Konseling merupakan metode pendekatan berupa tatap muka antara Ustadz Hasan dengan beberapa orang warga binaan. Saat Suara Hidayatullah ikut dalam kegiatan itu, konseling diawali dengan tausiyah dari Ustadz Hasan, kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab.

Hari itu ada empat warga binaan yang mengikuti konseling. Mereka termasuk warga binaan kelas berat yang hukumannya di atas 10 tahun hingga hukuman mati. Ada yang tersangkut kasus perampokan, pembunuhan, dan pengedar ganja. “Sekarang ini saya lebih mengedepankan metode konseling untuk melakukan pendekatan kepada warga binaan. Dengan cara ini, alhamdulillah, hasilnya lebih signifikan,” kata Ustadz Hasan.

Tidak jarang pada saat konseling warga binaan menyampaikan curahan hatinya. Baik masalah keluarga atau hukuman. Namun, Ustadz Hasan selalu menghadapinya dengan penuh empati. Menurut Hasan, inilah salah satu kunci sukses dakwah di dalam Lapas.

“Sikap empati harus selalu ditampilkan, berusaha menyatu dengan mereka, serta membangun komunikasi yang persuasif,” saran Hasan. Makanya, ia tak segan-segan mengucapkan salam dan bertanya kabar kepada warga binaan yang ditemui di dalam Lapas. Bagi warga binaan, sikap itu sangat berkesan. Sehingga tak jarang dengan cara ini warga binaan yang masih malas-malas ke masjid, berhasil ia tarik untuk shalat atau ikut pengajian di masjid.

Akhir 2010 lalu, wartawan Suara Hidayatullah, Ahmad Damanik dan fotografer, Indra L. Supono berkesempatan mengikuti dakwah Ustadz Hasan A. Makarim di dalam Lapas. Di sela-sela dakwahnya, Ustadz Hasan bercerita tentang suka duka selama 21 tahun berdakwah di dalam Lapas Nusakambangan dan berbagai aktivitas dakwahnya di Cilacap.

Berikut petikan pembicaraannya. Selamat membaca.*

Bagaimana awalnya Anda tertarik berdakwah di dalam Lapas Nusakambangan?
Sekitar 1985, saya pernah diajak oleh seorang dai senior ke Cilacap. Di sini saya mendengar tentang tantangan dakwah di Nusakambangan, yang banyak dikesankan sebagai pulau angker dan penghuninya yang mengerikan. Dari cerita itu justru membuat saya penasaran ingin mengunjungi pulau itu. Bersama dai itu juga saya datang dan berkenalan dengan Bapak Mirza, yang saat ini menjadi kordinator Lapas Nusakambangan. Singkat cerita pada 1991, saya mengikrarkan totalitas berdakwah di Nusakambangan.

Menurut Anda benarkah menyeramkan?
Memang ketika itu sangat sulit untuk menuju ke sana, harus pakai perahu kecil. Jalan di pulau itu terdiri dari batu karang dan batu kapur. Jika pada musim hujan sangat licin. Pernah satu kali motor yang saya tumpangi tergelincir hampir masuk ke dalam jurang. Pohon-pohonnya juga sangat besar dan rimbun. Pada waktu-waktu tertentu, binatang-binatang buas masih nampak melintas di jalan.

Bagaimana dengan para narapidananya?
Penghuninya (para napi) terlihat sangat seram, berbeda dengan sekarang. Dulu Nusakambangan masih menggunakan pendekatan seperti penjara. Ada jarak dengan para napi, kewaspadaan harus sangat diperhatikan betul. Makanya, dulu waktu berdakwah saya dikawal oleh petugas yang bersenjata api dan pentungan. Tapi situasi itu saya anggap sebagai romantika dalam dakwah yang harus dinikmati.

Bedanya dengan situasi sekarang?
Sekarang lebih familiar, bisa ngobrol, ketemu. Dulu jangankan berdialog, ketemu saja sulit.

Anda pernah mengalami ancaman dari para napi?
Selama ini belum pernah, karena saya sangat hati-hari ketika berbicara dengan mereka. Harus dihindari sekali berbicara tentang masalah dan masa lalu mereka. Kita hanya berbicara perbaikan-perbaikan ke depan. Ibadah, kemudian sosialisasi hablumminannas. Mereka sangat sensitif, jika ada masalah bisa meninggalkan masjid.

Bagaimana Anda menangani sikap warga binaan yang seperti itu?
Saya berusaha mendekati mereka ke ruangannya, menyapanya dengan baik agar mereka bisa nyaman untuk curhat. Biasanya, jika proses itu sudah kita lalui, mereka bisa kita tarik lagi untuk ikut kegiatan di dalam masjid.

Pada awal berdakwah di sana, berapa lama Anda bisa menyesuaikan dengan situasi?
Sekitar 2-3 tahun, karena dulu intensitasnya tidak begitu sering seperti sekarang. Kendala jarak yang sebenarnya dekat, tapi karena fasilitas jalan yang sangat rusak, harus mempunyai energi yang cukup. Bahkan dulu jika ke sana, saya harus bawa perbekalan logistik, sebab tidak ada warung-warung seperti sekarang.

Maksudnya membawa makanan?
Iya, itu pun bukan hanya untuk sendiri. Saya jadikan makanan itu sebagai alat komunikasi dengan narapidana. Ini salah satu cara yang saya lakukan untuk membuka komunikasi. Kadang saya bawa kue-kue atau permen. Mereka juga selalu minta dibawakan buku tulis atau buku-buku agama. Ini bisa menjadi pembuka jalan agar terus bisa berkomunikasi dengan mereka.

Bagaimana pendekatan pada warga binaan baru yang memerlukan bimbingan?
Kalau yang baru-baru itu perlu waktu. Peraturan di Lapas, penghuni baru harus melalui proses isolasi. Nanti setelah mereka selesai proses itu baru bisa dilibatkan pada kegiatan ceramah di masjid/mushalla. Yang kita harus antisipasi adalah pengaruh warga binaan baru kepada warga binaan yang sudah cukup lama. Makanya, nanti saya akan mengusulkan untuk warga binaan yang baru mendapat pembinaan agama secara terpisah. Ada masa transisi agar mereka bisa bersatu dengan yang penghuni lama.

Lapas tentu punya kebijakan sendiri. Bagaimana agar pembinaan yang Anda lakukan bisa berjalan baik?
Saya selalu berkomunikasi dengan Kalapas masing-masing, tentang kehadiran dan program kita. Juga dengan KPLP, Kamtib, Binadik (pembinaan dan pendidikan), Bimker (bimbingan kerja) Lapas masing-masing. Saya berusaha terkoneksi dengan semua pihak, agar kehadiran kita juga bersinergi, tidak sendiri-sendiri. Ke depan, kita harapkan semua bagian itu bisa bersinergi, agar pihak ketiga, seperti saya juga bisa klop dengan proses pembinaan yang ada di situ.

Apakah ada kebijakan Lapas yang membatasi pembinaan?
Sementara ini cukup fleksibel, bahkan belakangan ini saya mengajukan program konseling bagi warga binaan berisiko tinggi dengan pidana 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, seumur hidup, dan hukuman mati. Saya jadi konselor di semua Lapas.

Mengapa dengan konseling?
Karena saya melihat program ceramah umum yang dilakukan selama ini meski ada hasilnya, tapi kurang efektif. Dengan individual konseling, hasilnya lebih nyata dan signifikan. Biasanya diikuti oleh 3 -4 orang. Ada warga binaan yang hukuman mati belum aktif ke masjid, begitu ikut konseling, dia jadi aktif ke masjid. Kedekatan saat konseling membuat rasa persaudaraan meningkat, serta mendorong mereka untuk giat beribadah. Bahkan mereka menjadi rindu dengan kehadiran kita. Mereka lebih leluasa bertanya keagamaan, mereka haus dengan ilmu agama.

Apa yang biasa mereka tanyakan?
Biasanya mereka berkisah tentang masa lalu masing-masing. Lalu mereka bertanya tentang taubat mereka. Bagaimana sikap Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap dosa-dosa manusia? Selain itu, mereka banyak yang meminta buku-buku agama, seperti buku Hadits, tafsir, buku tentang taubat, juga buku-buku doa. Kita kurang sekali buku-buku keislaman.

Bagaimana untuk mendapatkan itu?
Saya mencari donatur keluar, di antaranya Badan Dakwah Islam Pertamina, PT Holcim, Kementerian Agama, bahkan saya secara pribadi bawa sendiri ke sana. Juga ada bantuan dari masyarakat.

Kalau tanggapan Dirjen Pemasyarakatan terhadap Anda seperti apa?
Saya sendiri pernah bicara dengan Pak Dirjen. Ada kemudahan-kemudahan dari Dirjen untuk bisa mendekati warga binaan. Beberapa kali juga saya bicara tentang konsep pembinaan warga binaan. Saya ingin membuat semi pesantren di dalam Lapas. Kita ingin mengubah imej Lapas yang menakutkan menjadi sejuk dengan dakwah

Lapas ini merupakan sebuah proses pendidikan, proses pencerahan spiritual bagi mereka. Dan tidak sedikit, di antara warga binaan ini yang awalnya tidak mengerti agama, bisa paham Islam, dan aktif ibadah.

Itu artinya Anda membutuhkan tambahan tenaga dai?
Sangat diperlukan. Pertama, paling diperlukan, di setiap Lapas harus ada pegawai lulusan IAIN atau sekolah agama, setingkat S1 sebagai koordinator pembinaan. Kedua, diharapkan lembaga dakwah yang ada bisa mengirimkan dainya ke Nusakambangan. Sehingga dakwah di dalam Lapas bisa lebih gencar lagi. Misalnya dengan pembinaan keislaman pada malam hari, dengan shalat malam, pencerahan, dan konseling. Insya Allah, hasilnya lebih maksimal. Mungkin nanti alasannya keamanan, makanya tidak perlu banyak-banyak, cukup 5 orang. Ditemani dengan beberapa orang dai.

Pernah disampaikan?
Pernah saya sampaikan secara lisan, tapi belum ada respon. Ini masih dalam proses perizinan.

Bagaimana pengaruh misionaris agama lain terhadap warga binaan yang Muslim?
Memang terjadi kompetisi yang sehat, antara umat beragama yang lain. Mereka punya hak juga terhadap komunitasnya masing-masing. Cuma kadang kita kalah dari sisi logistik.

Makanya saya kadang inisiatif bawa makanan, sekadar yang saya mampu. Kalau cari sponsor dulu, waktu saya bisa habis. Kita ambil inisiatif yang bisa dilakukan dan sumbangkan, itu saja.

Apa faktornya sehingga mereka bisa terpengaruh?
Biasanya ada janji-janji pihak lain terkait dengan status masa hukuman mereka. Sehingga ada orang tertarik mengorbankan keyakinannya.

Anda pernah menangani langsung?
Belum pernah secara langsung, hanya saja waktu saya mendengar hal itu, saya langsung menelepon pimpinan Lapas tempat korban pemurtadan itu, kemudian si orang itu dipanggil. *

Debut dakwah Ustadz Hasan Makarim di Nusakambangan tidak lepas dari kepindahannya ke Kabupaten Cilacap. Setelah menikahi wanita kelahiran Cilacap, Anisah Muhammad Bawazier, ia pun langsung mengabdikan dirinya untuk berdakwah di kabupaten terluas di Jawa Tengah ini. Menurut Hasan, tantangan dakwah di Kabupaten Cilacap cukup hebat. “Selain tantangan dari umat lain, juga kondisi masyarakat yang masih banyak percaya pada keyakinan kejawen,” ujar Hasan.

Sementara, kenang Hasan, lembaga dakwah yang ada di Cilacap belum tersinergi secara baik. Belakangan, dengan kegigihan Ustadz Hasan dan beberapa dai, lembaga-lembaga dakwah yang ada, seperti Badan Dakwah Islam Pertamina, Al-Irsyad, NU, Muhammadiyah, Dewan Dakwah, dan beberapa organisasi lain bisa tergabung dalam Forum Kerjasama Dakwah.

“Potensi dakwah di Cilacap sangat besar. Tapi karena belum ada yang menggerakan, jadi kelihatan redup. Begitu ada yang menggerakkan, muncul potensi umat,” ungkap Hasan. Hal ini pernah ia buktikan dengan menyelenggarakan suatu seminar pendidikan Islam yang mengundang Prof Dr Zakiah Darajat, seluruh potensi umat Islam bisa bersinergi.

Dengan sinergi itu juga, alhamdulillah, beberapa masalah pemurtadan bisa ditangani dengan baik. “Kita pernah menangani kasus pemurtadan masyarakat Kampung Laut sekitar tahun 1994,” ujarnya.

Masa awal dakwah di Cilacap tidak mudah. Sebagai pendatang baru, ia harus bersilaturahim ke berbagai lembaga dakwah yang ada. “Termasuk juga dengan pejabat daerah, departemen agama, dan lembaga dakwah,” katanya.

Tentang pilihannya berdakwah di Nusakambangan sempat ditentang kawan seprofesinya. “Buat apa ke sana? Di sini juga sangat membutuhkan,” protes kawannya. Hasan kemudian menjawabnya dengan tenang, “Kalau Allah izinkan dengan dakwah di sana akan menyadarkan seorang preman menjadi orang baik, itu kan investasi mahal. Ketika dia pulang nanti akan menentramkan jutaan orang di lingkungannya,” katanya menjelaskan. Kawan Hasan itu terdiam. *

Kabarnya Anda dekat dengan Imam Samudera, Amrozi, dan Mukhlas ketika masih di Nusakambangan?
Ya, tapi mereka ada di tempat khusus. Diisolasi, tidak boleh bergaul, dan bersosialisasi dengan yang lain. Mereka keluar biasanya hanya menjelang shalat Jumat, langsung mengambil posisi shaf depan. Selesai shalat Jumat biasanya mereka mengobrol dengan napi-napi lain dan petugas.

Pernah bicara secara khusus?
Ngobrol-ngobrol santai saja. Kadang guyon-guyon.

Hal apa yang biasa mereka sampaikan?
Biasanya mengenai kondisi kemungkaran yang banyak terjadi di tengah umat. Dia seringkali menyampaikan keprihatinan-keprihatinan terhadap kehidupan global, yang lainnya bagaimana jangan sampai terjadi pendangkalan aqidah dan intervensi budaya asing.

Kegiatan mereka selama di Lapas?
Ibadah rutin di dalam ruangan masing-masing. Mereka juga rutin puasa Senin- Kamis dan Dawud. Keadaan mereka cukup stabil, nyaman, khusuk berdoa, dan berpikir. Mereka humoris dan selalu tegur sapa.

Anda ikut merawat jenazah mereka?
Kalau untuk Amrozi dan Mukhlas ada keluarganya yang datang merawat jenazah mereka. Saya yang merawat jenazah Imam Samudera. Dari mulai memandikan, mengkafani, dan menshalatkan.

Bagaiman kesan Anda?
Yang saya lihat, wajah mereka cukup tenang, tidak terlihat menegangkan. Cukup lemas badannya, tidak kaku. Kemungkinan dia sedang puasa Dawud, karena waktu dimandikan tidak ada kotoran yang keluar dari dalam perutnya. Lokasi tembakannya tepat di jantung dengan 1 peluru. Pelurunya tembus ke belakang, di belakang terlihat lebih besar.

Dalam menjalankan tugas ini Anda mendapat apresiasi dalam bentuk materi?
BAZMA (Badan Amil Zakat Pertamina) kadang memberikan tunjangan transport.

Kalau dari Lapas?
Ada juga, tapi tidak rutin. Makanya ke sana itu jangan berharap apa-apa, tapi justru membawa apa-apa. Prinsip saya, kalau ke sana jangan sampai merepotkan. Di sana daerahnya sudah cukup terisolir, karyawan-karyawan di sana juga titik jenuhnya cukup tinggi. Makanya saya pernah usul ke Dirjen Pemasyarakatan, rotasi mutasinya lebih dipercepat dibandingkan lapas-lapas lain. Kalau nggak, dikasih tunjangan khusus. Di sana mereka cepat jenuh.

Apa suka dukanya berdakwah di Lapas?
Banyak sukanya. Di sana saya banyak saudara, semakin mengenal berbagai karakter manusia, serta problem kehidupan mereka. Itu menjadi dinamika yang menantang untuk terus berdakwah di sana. Kita seperti belajar dari kasus per kasus. Bagaimana terapi dan solusinya, karena dari satu orang dengan problem sama, belum tentu sama model terapinya. Tergantung karakter kepribadian, pendidikan, dan keluarga.

Dukanya?
Ketika hujan, karena harus naik motor. Apalagi kalau di sana tidak ada tempat berteduh. Ya sudah kita harus hujan-hujanan. Begitu juga kalau lagi terik matahari. Yang lainnya, adalah kalau pada saat ombak besar, sementara kita hanya pakai compreng.

Apa yang paling berkesan saat berdakwah di Nusakambangan?
Perubahan-perubahan itu yang membuat saya semakin tertarik untuk terus ke sana.*

Demi Nusakambangan, Tolak Tawaran Menteri

Soal dakwah dan pemahaman keislaman, Hasan A. Makarim banyak menimba ilmu dari tokoh-tokoh Islam. Menurut pengakuannya, saat masih aktif di Youth Islamic Study Club (YISC) Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, ia banyak berguru kepada Buya Hamka, M. Natsir, dan Zakiah Darajat. Ketika itu, sekitar tahun 1979, ia bersama Jimly Ash Shiddiqi dan Yusril Ihza Mahendra kerap mengadakan kajian keislaman setiap Sabtu-Ahad.

Pria kelahiran 15 Januari 1959 ini, juga mendapat bimbingan dari sang ayah, A. Makarim. Ayahnya yang menguasai ilmu tafsir, aku Hasan, sangat tegas dalam soal agama, terutama masalah shalat. “Waktu kelas tiga SD, saya pernah dipukul karena telat shalat Ashar, gara-gara asyik main bola,” kenangnya. Selain itu, pendidikan orangtua yang mempengaruhinya hingga kini adalah masalah kemandirian.

Demikian juga dalam mendidik tiga buah hati; Rusydi Makarim, Nabiel Makarim, dan Ahmad Zacky Makarim. Hasan berusaha istiqamah dalam menerapkan agama di keluarga. Meski tiga anaknya telah dimasukkan dalam sekolah Islam, ia tetap menanamkan nilai-nilai agama di rumah. “Biasanya ada kesempatan pada malam hari, sebab anak-anak sudah sekolah full-day,” katanya. Tapi kini, dua anaknya sudah sekolah di luar Cilacap, namun komunikasi untuk mengingatkan soal shalat masih kerap dilakukan Hasan melalui telepon.

Sementara untuk soal sekolah, Hasan dan istri tidak pernah terlalu mengatur. “Kami lebih sering berdialog, sehingga semua atas kesadarannya. Termasuk bila nilai di sekolah kurang, kami tidak menekannya harus bagus,” tutur Hasan. Alhamdulillah anak-anak Hasan justru dapat berprestasi.

Selain sebagai dai di Nusakambangan, Hasan punya sederet kesibukan lainnya. Ia dipercaya sebagai Ketua MUI Kabupaten Cilacap, pengurus ICMI Kabupaten Cilacap, Wakil Ketua Badan Amil Zakat (Bazda) Kabupaten Cilacap, dan pengurus di Yayasan Anak Spesial. Amanah-amanah itulah yang membuat Hasan tetap bertahan di Cilacap. Padahal, tawaran untuk berdakwah dan menetap di Jakarta beberapa kali mendatanginya. Termasuk dari Adi Sasono, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UKM.

“Saya sudah enjoy di sini, daerahnya cukup menantang,” terang Hasan. Lebih dari itu, ia mengakui dakwah di Nusakambanganlah yang membuatnya tetap eksis di Cilacap.

Kabarnya Anda menolak untuk berpartai. Mengapa?
Saya menghargai tawaran itu. Saya katakan, “Kita bagi tugaslah.” Saya tetap berprinsip di luar saja, menjadi orang netral. Jika saya berpartai, bisa jadi dakwah saya tidak seperti ini. Kesulitan untuk masuk dalam semua komunitas. Sekarang saya bisa masuk ke semua wilayah. Selain itu, saya tidak ingin dalam dakwah ini diteropong oleh kepentingan-kepentingan partai.

Bagaimana Anda membagi waktu antara keluarga dengan sederet aktivitas di luar?
Saya start untuk kepentingan publik mulai jam 8, sebelum jam itu untuk kepentingan keluarga.

Apa harapan ke depan yang ingin Anda realisasikan?
Ke depan saya sedang merencanakan kemandirian pesantren. Saya berharap ada percontohan pesantren yang mandiri dengan agroindustri dan agrobisnis.

Sementara di Bazda, saya sangat yakin jika potensi zakat bisa tergali optimal tidak akan ada orang miskin di Kabupaten Cilacap.

Kok bisa?
Ya, total gaji pegawai negeri sipil Kabupaten Cilacap itu per tahun sekitar 800 miliar berdasarkan anggaran rutin Pemda. Setengahnya saja yang wajib zakat berarti 400 miliar dikali 2,5% kan sudah mencapai 10 miliar per tahun. Itu sudah menjadi potensi besar, kalau bisa dikelola Kemenag, Bazda, Bapeda, Kesra Pemda, dan MUI. Dengan menejemen terbuka, saya yakin tidak ada orang miskin di Cilacap. Tidak perlu lagi orang keliling minta sumbangan-sumbangan. Sekarang yang penting adalah political will-nya. Sekarang yang baru tergali baru Rp 300 juta. Tadinya sebelum saya di situ hanya Rp 120 juta.

Apa yang Anda lakukan untuk bisa mencapai target potensi optimal?
Sosialisasi ke dinas dan instansi tingkat kabupaten, polres, kodim. Tahun 2011 ini, saya targetkan sampai Rp 500 juta.

Menurut Anda apa yang harus dilakukan seorang dai untuk mencapai kesuksesan dakwah?
Hatinya harus bersih dari hasad dan dengki. Dan, selalu belajar dengan bertanya kepada orang yang lebih tahu. Saya sendiri kalau dalam situasi sulit, banyak bertanya kepada ulama-ulama yang lebih tahu.

Juga, selalu dekat dengan dhuafa, insya Allah dekat dengan mereka akan mendatangkan pertolongan Allah.*

Untung Sugiyono
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kemenkum HAM

“Satu-satunya Ustadz yang Diterima Narapidana Teroris”

Peran Ustadz Hasan Makarim sangat kami butuhkan dalam membantu pembinaan para narapidana. Ketika itu, dia satu-satunya orang yang mau meringankan tangan untuk berpartisipasi atau memberikan kontribusi terhadap pembinaan, khususnya narapidana teroris. Waktu itu kita kesulitan, karena khususnya narapidana teroris, tidak semua ustadz bisa mereka terima. Ustadz Hasan Makarim ini yang bisa mereka terima.

Yang jelas, diterimanya Ustadz Hasan Makarim oleh para narapidana teroris karena beliau bukan pegawai negeri. Mereka menganggap yang pegawai negeri itu thagut, makan duit tidak beres. Kira-kira gitu. Yang saya dengar begitu, mereka tidak mau ustadz dari yang pegawai negeri. Lalu, dari Lapas minta bantuan kepada MUI, dan Ustadz Hasan Makarim yang ditugaskan. Ternyata dia bisa melakukan itu.

Sekarang, Ustadz Hasan Makarim sudah kita rekomendasikan untuk melakukan pembinaan ke semua Lapas di Nusakambangan. Syukur-syukur kawan beliau di tempat lain juga mau terlibat. Tapi sekarang ini kita sudah ada kerjasama dengan DDII, Muhammadiyah, dan lembaga lain untuk pembinaan.* SUARA HIDAYATULLAH, MARET 2011


Sumber :
http://majalah.hidayatullah.com/?p=2369

Tidak ada komentar:

Posting Komentar